Kamis, 12 Mei 2011

PENDIDIKAN KETELADANAN

Setiap orang (keluarga) selalu mengharapkan keluarganya menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Keluarga yang di dalamnya ada figur keteladanan dari ayah dan ibu. Mampu memimpin keluarga kecil bahagia sejahtera dengan penuh kasih sayang, karena didalamnya telah ditanamkan pendidikan keteladanan.


Pendidikan keteladanan di mulai dari keluarga dan diajarkan pula di sekolah. Anak sudah harus diarahkan untuk mengikuti hal-hal baik yang dilakukan oleh para orang dewasa agar mereka mendapatkan contoh konkrit dari apa yang dilihatnya.


Seorang anak adalah mesin foto copy yang canggih, apapun yang diperbuat oleh bapak dan ibunya maupun lingkungan keluarga akan dicontoh oleh si anak,. Tinggal sekarang kemana si anak akan diarahkan? Oleh karena itu bijaklah dalam berbicara maupun bertindak. Ingatlah dalam keluarga ada yang sedang menjiplak anda.


Pendidikan anak diawali dari rumah. Oleh karenanya semakin besar anak, sebagai orang tua harus semakin berhati-hati bertingkah laku & berkata-kata, takut anak meniru yang buruk. Anak-anak adalah peniru yang baik.


Pendidikan keteladanan sebenarnya ada dalam rumah-rumah kita. Dia bersemayam dalam hati kita masing-masing, karena pada hakekatnya keteladanan muncul dari dalam diri.


Hal itu terlihat dari bagaimana seorang ayah yang melindungi anak-anaknya dengan sepenuh hati dan sepenuh jiwa. Bagaimana seorang ibu yang menyayangi anak-anaknya dengan penuh kasih sayang dan belaian lembut seorang ibu. Semua itu mereka lakukan demi keberlangsungan hidup anak-anaknya.


Ketika ayah dan ibu tak lagi menjadi teladan bagi anak-anaknya. Ketika seorang kakak tak memberikan teladan kepada adiknya, dan ketika yang tua tak memberikan teladan kepada yang muda. Apa yang terjadi?


Kita tentu akan melihat bahwa budi pekerti telah hilang dari dalam diri.


Mereka yang muda tentu akan mengikuti gaya orang tuanya. Bila orang tuanya baik, maka anak pun akan cenderung baik. Ketika orang tuanya jahat, maka anak pun akan berkecenderungan jahat pula. Lingkungan sangat membentuk kepribadian anak.


Pendidikan keteladanan harus dimulai dari keluarga. Para orang tua harus dapat memberikan keteladanan kepada anak-anaknya.


Ketika orang tua mengajak anaknya untuk beribadah, maka orang tuanya itu harus memberikan keteladanan lebih dulu. Jangan sekali-kali mengajak anak untuk beribadah, ketika orang tua tak melakukannya. Sebab bila itu terjadi anak akan protes dan cenderuang memaki dan mengumpat.


Bisa saja keluar kalimat, “ayah saja tidak sholat, dan ibu saja tidak mengaji”.


Pada akhirnya anak melihat kelakuan buruk orang tuanya. Anak akan cepat meniru apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Keteladanan positif pun tak terjadi.


Menjadi orang tua ideal perlu ilmu. Menjadi guru ideal juga perlu ilmu. jJka orang tua dan guru mengamalkan ilmunya dengan benar, saya yakin keteladanan bisa diberikan pada anak.


Sayangnya, banyak suami istri tidak mencari ilmu mendidik anak karena sibuk dengan urusan pemenuhan kebutuhan keluarga. Mereka mengandalkan guru di sekolah untuk mendidik anaknya. Namun, ternyata guru telanjur dipusingkan dengan urusan administrasi sekolah dan urusan keluarga. Mereka hanya sempat mentransfer materi pelajaran tapi lupa menanamkan keteladanan. Kalau sudah begitu, semoga kita tidak termasuk golongan orang yang merugi.


Pendidikan keteladanan harus dipupuk dari anak masih usia dini. Tentu memori otaknya akan menyimpan semua hal baik yang dilihatnya. Tetapi bila kita sebagai orang tua tak memberikan keteladanan, maka jangan salahkan bila anak kita berkelakukan kurang ajar.

Dalam dunia persekolahan kita, pendidikan keteladanan harus diberikan guru kepada anak didiknya. Menyatu dalam kurikulum yang bernama pendidikan karakter. atau watak Di sinilah fungsi mendidik itu diperkukan. Para peserta didik diajarkan bagaimana mencontoh hal-hal baik yang ada dalam kehidupannya sehari-hari.


Banyak orang tua lupa bahwa mereka itu guru pertama bagi anaknya. Keluarga itu adalah sekolah pertama anak. Merah, putih, dan hitamnya anak tergantung pada orang tuanya. Sayangnya, urusan mendidik anak dianggap sebagian orang tua hanyalah urusan guru di sekolah.


Saya kira, pendidikan keteladanan akan berjalan dengan baik dalam dunia pendidikan bila kita sebagai orang tua, guru, dan dosen mampu memberikan keteladanan kepada anak-anaknya. Tak perlu ini dan itu dalam memberikan keteladanan, karena keteladanan itu sederhana. Sangat sederhana.


Tetapi kenapa di antara kita sering tak melakukannya???


Kamis, 05 Mei 2011

MENJADI SEORANG GURU...

Jadi, hmmm…Guru … Apa yang ada di pikiran kita saat membayangkan profesi ini ? Profesi paling mulia di muka bumi ? The mother of all professions ? Anak tiri pemerintah ? Pahlawan tanpa tanda jasa? Pahlawan yang sudah mulai diakui kehadirannya? Penuturan di bawah ini mungkin bisa membantu kita memaknai profesi guru….
Apa yang sesungguhnya bisa dilakukan seorang guru?
Loretta adalah guru lulusan sebuah universitas di Amerika Serikat. Dalam suatu kesempatan Eko, sepupunya yang bekerja sebagai Chief Executive Officer di sebuah perusahaan multi nasional, mengajukan pertanyaan,”Apa sih sesungguhnya yang dilakukan seorang guru? Kok, kamu akhirnya jadi guru? Capek-capek kuliah, lembur buat tugas ratusan kali, kedinginan, jauh dari keluarga dan akhirnya jadi guru? Kata pepatah, ‘Those who can, do. Those who can’t, teach’.
Loretta menanggapi pertanyaan itu setelah berpikir sejenak….
“Kamu mau tahu apa yang saya perbuat?
Saya membuat anak-anak bisa belajar lebih keras dari yang mereka kira dan dari yang orang tua mereka sangka.
Saya membuat mereka bisa duduk selama 40 menit kendati orang tua tak mampu membuat mereka duduk tenang selama 10 menit tanpa bantuan Ipod, DVD player, MP 3 player atau video game.
Saya membuat nilai 6 di tangan mereka serasa seperti piala di tangan Susi Susanti ketika ia menjuarai Olimpiade.
Kamu mau tahu apa yang saya perbuat?
Saya membuat mereka takjub.
Saya membuat mereka berpikir.
Saya membuat mereka bertanya.
Saya memberi mereka pujian sehingga rasa percaya diri meningkat.
Saya mengajak mereka menyanyi di acara sekolah sehingga mereka berani tampil di depan umum.
Saya mengajarkan mereka untuk minta maaf seusai mereka melakukan kesalahan.
Saya mengajarkan mereka agar menghormati semua orang termasuk petugas kebersihan di sekolah serta penjaga kantin.
Saya mengajarkan mereka untuk bertanggung jawab atas apa yang mereka perbuat.
Saya meminta mereka untuk menanggung konsekuensi dari pelanggaran yang mereka lakukan.
Kamu mau tahu apa yang saya perbuat?
Saya mengajar mereka membaca, menulis dan berhitung sehingga mereka tak mudah ditipu.
Saya menyuruh mereka untuk membaca, membaca dan membaca.
Saya meminta mereka berdiskusi dan mempertahankan pendapat jika mereka bisa menopangnya dengan alasan yang kuat.
Saya meminta mereka untuk memahami pandangan temannya dan tetap menaruh rasa hormat walau mereka tak setuju saat berdiskusi.
Saya meminta mereka untuk menghargai perbedaan.
Saya meminta mereka untuk mengakui kesalahan jika terbukti mereka salah.
Saya membawa mereka ke museum.
Saya meminta mereka untuk menyanyikan Indonesia Raya dengan khidmat saat upacara bendera.
Saya meminta mereka tunduk, mengenang jasa pahlawan saat Lagu Syukur dikumandangkan.
Saya mengajarkan mereka untuk menghargai pahlawan.
Lebih dari semuanya, saya membuat mereka paham betul, bahwa jika mereka melakukan sesuatu dengan segala yang mereka miliki dan dengan semua potensi yang ada, pasti mereka akan berhasil.
Saya menyuntikkan semangat ke dalam tubuh mereka.
Saya memberikan mereka inspirasi.
Saya menyebarkan optimisme dan cinta kasih.
Guru memang tidak punya uang sebanyak pengusaha, apalagi CEO kayak kamu. Hmmm….I do not make money, I make a difference…Eko, what do you make?
Jadi, untuk yang terakhir kali, apa yang melekat di benak saat kita mendengar kata ‘guru’ ? apa sesungguhnya ‘menjadi guru’ itu ? Sindhunata, Pemimpin Redaksi majalah bulanan Basis, dalam sebuah tulisannya pernah mencoba menggugah kita untuk merenungkan apa makna pendidikan sesungguhnya (2001:3).
“…betapa pendidikan kita telah banyak menyeleweng dari tugasnya yang paling dasariah, yakni membantu anak didik menjadi manusia yang bebas dan merdeka. Pendidikan perlu membuat manusia terkejut, mengapa ia begitu tertutup, padahal kesadarannya menuntut, hanya bila mau terbuka maka ia akan bahagia. Pendidikan juga perlu membuat manusia kaget, mengapa ia begitu takut, padahal kesadarannya menuntut, agar ia berani untuk memperjuangkan hidupnya. Pendidikan juga harus membuat ia benci terhadap dirinya, mengapa ia membenci dan menindas orang lain, padahal kesadarannya menuntut bahwa hanya dengan saling mencintai dan hormat satu sama lain, ia akan menjadi manusia bahagia dalam masyarakatnya”.
Marilah kita memaknai profesi guru dengan merenungkan pernyataan mengenai arti pendidikan yang dilontarkan Sindhunata di atas.
Selamat berpikir......

Selasa, 03 Mei 2011

TENTANG PANCASILA

Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sansekerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.

SEJARAH PERUMUSAN PANCASILA

Dalam upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi, terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu :

  • Lima Dasar oleh Muhammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945. Yamin merumuskan lima dasar sebagai berikut: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia. Mohammad Hatta dalam memoarnya meragukan pidato Yamin tersebut.[1]
  • Panca Sila oleh Soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 Juni 1945. Sukarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan; Internasionalisme; Mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan; Kesejahteraan; Ketuhanan. Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni itu, katanya:
Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.

Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen penetapannya ialah :

GARUDA PANCASILA SEBAGAI LAMBANG NEGARA

Lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Lambang negara Indonesia berbentuk burung Garuda yang kepalanya menoleh ke sebelah kanan (dari sudut pandang Garuda), perisai berbentuk menyerupai jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu” ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Lambang ini dirancang oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, yang kemudian disempurnakan oleh Presiden Soekarno, dan diresmikan pemakaiannya sebagai lambang negara pertama kali pada Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat tanggal 11 Februari 1950.

Lambang negara Garuda Pancasila diatur penggunaannya dalam Peraturan Pemerintah No. 43/1958 .

SEJARAH LAMBANG NEGARA

Garuda, kendaraan (wahana) Wishnu tampil di berbagai candi kuna di Indonesia, seperti Prambanan, Mendut, Sojiwan, Penataran, Belahan, Sukuh dan Cetho dalam bentuk relief atau arca. Di Prambanan terdapat sebuah candi di muka candi Wishnu yang dipersembahkan untuk Garuda, akan tetapi tidak ditemukan arca Garuda di dalamnya. Di candi Siwa Prambanan terdapat relief episode Ramayana yang menggambarkan keponakan Garuda yang juga bangsa dewa burung, Jatayu, mencoba menyelamatkan Sinta dari cengkeraman Rahwana. Arca anumerta Airlangga yang digambarkan sebagai Wishnu tengah mengendarai Garuda dari Candi Belahan mungkin adalah arca Garuda Jawa Kuna paling terkenal, kini arca ini disimpan di Museum Trowulan.

Garuda muncul dalam berbagai kisah, terutama di Jawa dan Bali. Dalam banyak kisah Garuda melambangkan kebajikan, pengetahuan, kekuatan, keberanian, kesetiaan, dan disiplin. Sebagai kendaraan Wishnu, Garuda juga memiliki sifat Wishnu sebagai pemelihara dan penjaga tatanan alam semesta. Dalam tradisi Bali, Garuda dimuliakan sebagai "Tuan segala makhluk yang dapat terbang" dan "Raja agung para burung". Di Bali ia biasanya digambarkan sebagai makhluk yang memiliki kepala, paruh, sayap, dan cakar elang, tetapi memiliki tubuh dan lengan manusia. Biasanya digambarkan dalam ukiran yang halus dan rumit dengan warna cerah keemasan, digambarkan dalam posisi sebagai kendaraan Wishnu, atau dalam adegan pertempuran melawan Naga. Posisi mulia Garuda dalam tradisi Indonesia sejak zaman kuna telah menjadikan Garuda sebagai simbol nasional Indonesia, sebagai perwujudan ideologi Pancasila. Garuda juga dipilih sebagai nama maskapai penerbangan nasional Indonesia Garuda Indonesia. Selain Indonesia, Thailand juga menggunakan Garuda sebagai lambang negara.

Setelah Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949, disusul pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949, dirasakan perlunya Indonesia (saat itu Republik Indonesia Serikat) memiliki lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari yang menampakkan pengaruh Jepang.

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Mereka bertiga sepakat mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".Tanggal 8 Februari 1950, rancangan lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan kembali, karena adanya keberatan terhadap gambar burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap terlalu bersifat mitologis. [2]

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS pada tanggal 11 Februari 1950.[3] Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih "gundul" dan tidak berjambul seperti bentuk sekarang ini. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.

Soekarno terus memperbaiki bentuk Garuda Pancasila. Pada tanggal 20 Maret 1950 Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah, melukis kembali rancangan tersebut; setelah sebelumnya diperbaiki antara lain penambahan "jambul" pada kepala Garuda Pancasila, serta mengubah posisi cakar kaki yang mencengkram pita dari semula di belakang pita menjadi di depan pita, atas masukan Presiden Soekarno. Dipercaya bahwa alasan Soekarno menambahkan jambul karena kepala Garuda gundul dianggap terlalu mirip dengan Bald Eagle, Lambang Amerika Serikat.[4] Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara. Rancangan Garuda Pancasila terakhir ini dibuatkan patung besar dari bahan perunggu berlapis emas yang disimpan dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional sebagai acuan, ditetapkan sebagai lambang negara Republik Indonesia, dan desainnya tidak berubah hingga kini.

DESKRIPSI DAN ARTI FILOSOFIS


Garuda

  • Garuda Pancasila sendiri adalah burung Garuda yang sudah dikenal melalui mitologi kuna dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu kendaraan Wishnu yang menyerupai burung elang rajawali. Garuda digunakan sebagai Lambang Negara untuk menggambarkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan negara yang kuat.
  • Warna keemasan pada burung Garuda melambangkan keagungan dan kejayaan.
  • Garuda memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang melambangkan kekuatan dan tenaga pembangunan.
  • Jumlah bulu Garuda Pancasila melambangkan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, antara lain:
    • 17 helai bulu pada masing-masing sayap
    • 8 helai bulu pada ekor
    • 19 helai bulu di bawah perisai atau pada pangkal ekor
    • 45 helai bulu di leher

Perisai

  • Perisai adalah tameng yang telah lama dikenal dalam kebudayaan dan peradaban Indonesia sebagai bagian senjata yang melambangkan perjuangan, pertahanan, dan perlindungan diri untuk mencapai tujuan.
  • Di tengah-tengah perisai terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan garis khatulistiwa yang menggambarkan lokasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu negara tropis yang dilintasi garis khatulistiwa membentang dari timur ke barat.
  • Warna dasar pada ruang perisai adalah warna bendera kebangsaan Indonesia "merah-putih". Sedangkan pada bagian tengahnya berwarna dasar hitam.
  • Pada perisai terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar negara Pancasila. Pengaturan lambang pada ruang perisai adalah sebagai berikut[5]:
  1. Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima berlatar hitam[6];
  2. Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai berlatar merah[7];
  3. Sila Ketiga: Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai berlatar putih[8];
  4. Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng[9] di bagian kanan atas perisai berlatar merah [10]; dan
  5. Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai berlatar putih.

Pita bertuliskan semboyan Bhinneka Tunggal Ika

  • Kedua cakar Garuda Pancasila mencengkeram sehelai pita putih bertuliskan "Bhinneka Tunggal Ika" berwarna hitam.
  • Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah kutipan dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Kata "bhinneka" berarti beraneka ragam atau berbeda-beda, kata "tunggal" berarti satu, kata "ika" berarti itu. Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya tetap adalah satu kesatuan, bahwa di antara pusparagam bangsa Indonesia adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.
ATURAN TERKAIT

Penggunaan lambang negara diatur dalam UUD 1945 pasal 36A dan UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. (LN 2009 Nmr 109, TLN 5035). Sebelumnya lambang negara diatur dalam Konstitusi RIS, UUD Sementara 1950, dan Peraturan Pemerintah No. 43/1958 [11]

Lambang Negara menggunakan warna pokok yang terdiri atas:

  1. warna merah di bagian kanan atas dan kiri bawah perisai;
  2. warna putih di bagian kiri atas dan kanan bawah perisai;
  3. warna kuning emas untuk seluruh burung Garuda;
  4. warna hitam di tengah-tengah perisai yang berbentuk jantung; dan
  5. warna alam untuk seluruh gambar lambang.

Lambang Negara wajib digunakan di:

  1. dalam gedung, kantor, atau ruang kelas satuan pendidikan;
  2. luar gedung atau kantor;
  3. lembaran negara, tambahan lembaran negara, berita negara, dan tambahan berita negara;
  4. paspor, ijazah, dan dokumen resmi yang diterbitkan pemerintah;
  5. uang logam dan uang kertas; atau
  6. meterai.

Dalam hal Lambang Negara ditempatkan bersama-sama dengan Bendera Negara, gambar Presiden dan/atau gambar Wakil Presiden, penggunaannya diatur dengan ketentuan:

  1. Lambang Negara ditempatkan di sebelah kiri dan lebih tinggi daripada Bendera Negara; dan
  2. gambar resmi Presiden dan/atau gambar Wakil Presiden ditempatkan sejajar dan dipasang lebih rendah daripada Lambang Negara.

Setiap orang dilarang:

  1. mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara;
  2. menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
  3. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; dan
  4. menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Senin, 02 Mei 2011

PENDIDIKAN UNTUK PENGENTASAN KEMISKINAN

Konsep pendidikan untuk pengentasan kemiskinan mempunyai dua makna. Makna pertama didasarkan pada teori human capital yang menyatakan bahwa di samping modal dan teknologi, manusia juga merupakan salah satu faktor utama untuk mendukung pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Pertumbuhan ekonomi di Jepang dan Korea Selatan merupakan contoh. Kedua negara ini miskin sumber daya alam, tetapi pertumbuhan ekonominya tinggi karena mempunyai sumber daya manusia dengan kompetensi tinggi, terutama di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan. Makna kedua berkaitan dengan kebijakan afirmatif. Kebijakan ini pada prinsipnya menegaskan bahwa pelayanan pendidikan harus bersifat nondiskriminatif. Minat dan bakat menjadi satu-satunya dasar untuk melakukan seleksi (bukan mendiskriminasikan) setiap siswa untuk mendapatkan pelayanan pendidikan. Kebijakan pendidikan, baik di negara berkembang maupun maju, selalu diarahkan pada peningkatan pemerataan dan mutu pelayanan pendidikan.

Kriteria efisiensi dan efektivitas menjadi pertimbangan manajemen ketika ketersediaan sumber dana senantiasa terbatas. Akibatnya alokasi dana untuk menunjang kebijakan pendidikan selalu dihadapkan pada fenomena trade-off. Adanya fenomena trade-off menuntut kejelian pemerintah dalam melakukan prioritas. Penetapan target yang akan dicapai pada periode tertentu tentu saja tidak hanya mempertimbangkan jumlah anggaran yang dapat disediakan pemerintah, tetapi juga karakteristik target pendidikan.

Permasalahan Perenial

Paling tidak terdapat dua permasalahan perenial yang saling berkaitan antara kebijakan peningkatan pemerataan dan mutu pelayanan pendidikan dengan mempertimbangkan keterbatasan sumber dana. Kedua permasalahan tersebut adalah kemiskinan dan keterisolasian geografis. Kemiskinan menjadi pertimbangan karena berkaitan dengan kemampuan orang tua untuk menyisihkan sebagian penghasilanuntukmenyekolahkan anaknya. Namun, hal ini tidak dapat dijadikan alasan bahwa mereka yang berasal dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomis didiskriminasikan dari pelayanan pendidikan.

Keterisolasian geografis menjadi permasalahan yang sudah ada sejak Indonesia merdeka. Pengabaian terhadap masalah ini mempunyai konsekuensi terhadap efektivitas pencapaian kebijakan pendidikan. Mereka juga warga Indonesia yang mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu. Di samping berkenaan dengan masalah kemiskinan dan keterpencilan geografis, kebijakan pendidikan juga dihadapkan dengan masalah pengangguran.Pendidikan dianggap bertanggung jawab terhadap pengangguran yang terjadi. Satuan pendidikan pada dasarnya tidak bisa menjamin bahwa setiap lulusannya mendapat pekerjaan. Perdebatan tentang peran pendidikan dalam menghantarkan peserta siswa memasuki dunia kerja adalah ready for trainatau ready for use.

Argumentasi yang dikemukakan di sini adalah peran pendidikan mengantarkan siswa untuk ready for trainpada saat lulus. Rekrutmen tenaga kerja selalu didasarkan pada mekanisme queing theory. Mereka yang berada dalam urutan terdepan dalam rekrutmen tenaga kerja adalah mereka yang relatif terampil sehingga memerlukan alokasi sumber daya paling minimum untuk pelatihan lebih lanjut. Sulit bagi kebijakan pendidikan untuk secara langsung mengikuti perkembangan kebutuhan dunia kerja yang bergerak lebih cepat daripada dunia pendidikan.

Intervensi Kebijakan

Bagaimana pendidikan dapat mengentaskan kemiskinan tentu sesuai kebijakan pendidikan yang diarahkan. Pemberian beasiswa bagi siswa miskin merupakan intervensi kebijakan pendidikan yang bersifat afirmatif. Pada acara Bukan Empat Matapada Maret 2011 ditampilkan seorang mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Dia adalah anak dari seorang tukang cendol yang tentu saja tidak akan mampu untuk membiayai anaknya masuk Fakultas Kedokteran.

Dengan program Beasiswa Pendidikan bagi calon Mahasiswa Berprestasi dari Keluarga Kurang Mampu (Bidik Misi), terbuka kesempatan baginya untuk mewujudkan cita-citanya menjadi dokter. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdapat program serupa seperti beasiswa miskin dan beasiswa berprestasi. Program-program seperti itu telah berhasil menghantarkan siswa untuk menyelesaikan pendidikannya pada jenjang menengah. Selanjutnya apabila diterima di perguruan tinggi, program Bidik Misi akan menyambutnya. Program untuk mendukung kebijakan afirmatif yang lainnya adalah menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang dapat memfasilitasi kegiatan belajar mengajar siswa dari keluarga kurang mampu secara ekonomis dan dari daerah terpencil.

Bentuknya tidak harus berupa bangunan, tetapi juga sarana transportasi yang dapat menjamin mobilitas mereka,serta penyediaan sumber belajar yang bisa dibawa pulang. Meskipun pendidikan tidak secara langsung dapat mengatasi pengangguran, kebijakan pendidikan tidak bisa lepas tangan dengan adanya pengangguran. Apa yang bisa dilakukan kebijakan pendidikan adalah membenahi kurikulum agar dapat selalu mengantisipasi kebutuhan dunia kerja. Bersamaan dengan hal itu, kompetensi guru ditingkatkan dan sarana pendidikan di tingkat satuan pendidikan diperhatikan.

Sistem Pendidikan Nasional menyediakan jalur pendidikan nonformal dan sekolah menengah kejuruan yang secara khusus mempersiapkan para lulusannya untuk tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, tetapi untuk langsung masuk pada dunia kerja. Pada jalur dan sekolah menengah kejuruan ini orientasi pendidikan secara lebih khusus diarahkan untuk mempersiapkan lulusannya masuk dunia kerja. Kerja sama dengan dunia usaha menjadi suatu keharusan. Kerja sama ini bersifat saling menguntungkan. Sekolah akan lebih terarah dalam mempersiapkan program pengajarannya untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja.

Di lain pihak, dunia usaha dapat menekan alokasi sumber dana untuk pelatihan dalam rangka orientasi kerja pada perusahaannya. Pada tingkat makro, pertumbuhan ekonomi perlu untuk dipelihara.Hanya dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil pasar kerja dapat menyediakan tempat kepada para lulusan yang terampil dan kompetitif.

MENYIAPKAN GENERASI 2045


Tiap kali memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) seperti hari ini, dalam konteks reflektif, kita selalu dihadapkan pada salah satu pertanyaan mendasar, sudahkah ”produk” pendidikan mampu menjawab berbagai persoalan yang sifatnya kekinian dan mengantisipasi masa depan?

Berangkat dari pertanyaan mendasar itulah, tulisan ini mencoba memberikan jawaban. Konteksnya tentu masih dalam memperingati Hardiknas, yang dalam temanya terkandung makna, menyiapkan generasi dalam menyongsong satu abad kemerdekaan Indonesia, generasi 2045. Tema Hari Pendidikan Nasional 2011 ini adalah Pendidikan Karakter sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa dengan subtema Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti. Tema dan subtema ini erat kaitannya dengan sebuah proses panjang menyiapkan generasi mendatang, karena memang pendidikan karakter, prestasi, dan budi pekerti, diakui sebagai upaya proses panjang yang tidak bisa dilakukan seperti ”membalik telapak tangan”.

Semua telah memahami, dalam dunia pendidikan, manusia sebagai pemeran utamanya, baik sebagai subjek sekaligus objek. Keilmuan sebagai medianya, memanusiakan manusia sebagai salah satu tujuannya, dan kemampuan untuk menjawab berbagai persoalan yang sifatnya kekinian maupun antisipasi masa depan (kenantian) sebagai keniscayaannya. Itulah sebabnya mengapa dunia pendidikan itu kompleks, menantang, namun sangat mulia. Kompleksitas dan tantangan terus berkembang, seiring dengan perjalanan zaman. Karena itu, kita semua harus secara bersama-sama terus-menerus berikhtiar dengan sungguh-sungguh untuk menanganinya, demi kemuliaan diri, bangsa, negara, dan umat manusia.

Selain itu, kita juga memahami dan menyadari tentang tantangan global dan internal yang sedang dihadapi, yang mengharuskan kita semua untuk lebih memperkuat jati diri, identitas, dan karakter sebagai bangsa Indonesia. Bangsa yang dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Kuasa potensi sumber daya alam yang sangat kaya, sumber daya manusia berupa bonus demografi (2010-2040) yang luar biasa besar, dan perjalanan panjang sebagai bangsa yang tangguh dan penuh optimisme. Demikian juga kesempatan yang sangat terbuka untuk menjadi bangsa dan negara yang besar, maju, demokratis, dan sejahtera. Jadi sekarang ini, ada potensi dan ada kesempatan. Untuk itu, momentum yang sangat mahal ini harus kita manfaatkan dengan baik dengan menyiapkan generasi menuju 2045, yaitu pada saat 100 tahun Indonesia merdeka.

Yang Harus Disiapkan

Dari sekian banyak yang harus disiapkan, penyiapan sumber daya manusia yang berkarakter dan berkualitas adalah syarat mutlaknya, serta pendidikan karakter sebagai salah satu kuncinya. Ada tiga kelompok pendidikan karakter, yaitu: (i) pendidikan karakter yang menumbuhkan kesadaran sebagai makhluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa, (ii) pendidikan karakter yang terkait dengan keilmuan, dan (iii) pendidikan karakter yang menumbuhkan rasa cinta dan bangga menjadi orang Indonesia.

Kesadaran sebagai makhluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa akan menumbuhkan nilai transendensi dan nilai keagamaan yang kuat, yang pada gilirannya tumbuh sifat kasih sayang dan toleran saling menghargai dan menghormati (karena merasa sesama makhluk) dan menjauhkan diri dari perilaku destruktif dan anarkistis. Kesadaran sebagai makhluk-hamba juga akan menumbuhkan sifat jujur, karena merasa ‘malu’ kepada Tuhan. Alangkah indahnya, sesama makhluk dan hamba termasuk lingkungan alam semesta tumbuh rasa kasih sayang secara tulus dan jujur. Tidakkah kita ini memiliki misi utama untuk memberikan ‘kerahmatan’ bagi alam semesta.

Metodologi dan materi pembelajaran yang merangsang tumbuhnya kepenasaranan intelektual haruslah lebih ditonjolkan untuk membangun pola pikir, tradisi dan budaya keilmuan, menumbuhkan kreativitas dan sekaligus daya inovasi. Di sini peran guru lebih dominan dibanding kecukupan sarana dan prasarana. Budaya keilmuan merupakan modal penting dan menjadi semakin rasional dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dan tantangan. Dengan kreativitas dan daya inovasi, semakin cerdas dalam mengelola sumber daya yang kita miliki, semakin tinggi nilai tambah yang bisa diberikan. Pada akhirnya bisa meningkatkan kesejahteraan lebih signifikan. Inilah pendidikan karakter yang terkait dengan keilmuan.

Kelompok karakter ketiga yang harus dibangun adalah menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Kecintaan karena sadar bahwa bangsa dan negara dengan empat pilarnya yaitu: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah milik kita, hasil dari perjuangan yang luar biasa. Penumbuhan kebanggaan itu dilakukan melalui kegemaran kita untuk berprestasi. Prestasi positif kita kontribusikan dan dedikasikan demi kemajuan bangsa dan negara. Inilah yang bisa menumbuhkan kebanggaan sejati. Tanpa prestasi dikhawatirkan kita bisa terjebak dalam kebanggaan semu, kebanggaan tanpa makna.

Itulah alasan mengapa tema Hardiknas 2011 ini adalah Pendidikan Karakter sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa dengan subtema Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti. Membangun ketiga kelompok karakter tersebut tidak cukup hanya pembelajaran di kelas, tapi juga harus secara simultan melalui membangun kultur sekolah (school culture), keluarga, dan masyarakat. Ini harus diajarkan mulai dari pendidikan anak usia dini, perguruan tinggi, sampai belajar sepanjang hayat (life long learning).

Pendidikan PAUD

Banyak agenda yang harus disiapkan dalam menyiapkan generasi 2045, antara lain pendidikan anak usia dini (PAUD). Pada usia inilah masa emas dari generasi kita. Mereka inilah 30-an tahun ke depan yang akan menjadi pemegang kunci kemajuan bangsa. Karena itu, tidak ada pilihan lain kalau kita ingin menyiapkan generasi 2045, harus kita mulai dari sekarang yaitu dengan memberikan perhatian khusus pada PAUD, dengan tetap memberikan perhatian pada jenjang pendidikan yang lain. Kementerian Pendidikan Nasional,mulai 2011 menjadikan PAUD sebagai gerakan nasional.

Alhamdulillah, kesadaran dan antusiasme masyarakat terhadap PAUD sangat tinggi. Kita yakin, angka partisipasi kasar PAUD, yaitu 57% pada 2010 dapat ditingkatkan secara signifikan menjadi 70%. Pada PAUD inilah paling tidak kita mulai tanamkan tiga kelompok pendidikan karakter tersebut, yaitu karakter sebagai hamba Tuhan, karakter keilmuan, dan karakter cinta terhadap bangsa dan negara. Harus diakui, pada dasarnya pendidikan merupakan sebuah proses panjang, berkelanjutan, dan memerlukan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan.

Karena itu, konsistensi kebijakan dan kebersamaan diperlukan. Inilah ‘hadiah’’ yang kita siapkan dan persembahkan dalam menyambut generasi 2045, generasi 100 tahun Indonesia merdeka. Insya Allah.

MOHAMMAD NUH
Menteri Pendidikan NasionalTiap kali memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) seperti hari ini, dalam konteks reflektif, kita selalu dihadapkan pada salah satu pertanyaan mendasar, sudahkah ”produk” pendidikan mampu menjawab berbagai persoalan yang sifatnya kekinian dan mengantisipasi masa depan?

Berangkat dari pertanyaan mendasar itulah, tulisan ini mencoba memberikan jawaban. Konteksnya tentu masih dalam memperingati Hardiknas, yang dalam temanya terkandung makna, menyiapkan generasi dalam menyongsong satu abad kemerdekaan Indonesia, generasi 2045. Tema Hari Pendidikan Nasional 2011 ini adalah Pendidikan Karakter sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa dengan subtema Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti. Tema dan subtema ini erat kaitannya dengan sebuah proses panjang menyiapkan generasi mendatang, karena memang pendidikan karakter, prestasi, dan budi pekerti, diakui sebagai upaya proses panjang yang tidak bisa dilakukan seperti ”membalik telapak tangan”.

Semua telah memahami, dalam dunia pendidikan, manusia sebagai pemeran utamanya, baik sebagai subjek sekaligus objek. Keilmuan sebagai medianya, memanusiakan manusia sebagai salah satu tujuannya, dan kemampuan untuk menjawab berbagai persoalan yang sifatnya kekinian maupun antisipasi masa depan (kenantian) sebagai keniscayaannya. Itulah sebabnya mengapa dunia pendidikan itu kompleks, menantang, namun sangat mulia. Kompleksitas dan tantangan terus berkembang, seiring dengan perjalanan zaman. Karena itu, kita semua harus secara bersama-sama terus-menerus berikhtiar dengan sungguh-sungguh untuk menanganinya, demi kemuliaan diri, bangsa, negara, dan umat manusia.

Selain itu, kita juga memahami dan menyadari tentang tantangan global dan internal yang sedang dihadapi, yang mengharuskan kita semua untuk lebih memperkuat jati diri, identitas, dan karakter sebagai bangsa Indonesia. Bangsa yang dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Kuasa potensi sumber daya alam yang sangat kaya, sumber daya manusia berupa bonus demografi (2010-2040) yang luar biasa besar, dan perjalanan panjang sebagai bangsa yang tangguh dan penuh optimisme. Demikian juga kesempatan yang sangat terbuka untuk menjadi bangsa dan negara yang besar, maju, demokratis, dan sejahtera. Jadi sekarang ini, ada potensi dan ada kesempatan. Untuk itu, momentum yang sangat mahal ini harus kita manfaatkan dengan baik dengan menyiapkan generasi menuju 2045, yaitu pada saat 100 tahun Indonesia merdeka.

Yang Harus Disiapkan

Dari sekian banyak yang harus disiapkan, penyiapan sumber daya manusia yang berkarakter dan berkualitas adalah syarat mutlaknya, serta pendidikan karakter sebagai salah satu kuncinya. Ada tiga kelompok pendidikan karakter, yaitu: (i) pendidikan karakter yang menumbuhkan kesadaran sebagai makhluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa, (ii) pendidikan karakter yang terkait dengan keilmuan, dan (iii) pendidikan karakter yang menumbuhkan rasa cinta dan bangga menjadi orang Indonesia.

Kesadaran sebagai makhluk dan hamba Tuhan Yang Maha Esa akan menumbuhkan nilai transendensi dan nilai keagamaan yang kuat, yang pada gilirannya tumbuh sifat kasih sayang dan toleran saling menghargai dan menghormati (karena merasa sesama makhluk) dan menjauhkan diri dari perilaku destruktif dan anarkistis. Kesadaran sebagai makhluk-hamba juga akan menumbuhkan sifat jujur, karena merasa ‘malu’ kepada Tuhan. Alangkah indahnya, sesama makhluk dan hamba termasuk lingkungan alam semesta tumbuh rasa kasih sayang secara tulus dan jujur. Tidakkah kita ini memiliki misi utama untuk memberikan ‘kerahmatan’ bagi alam semesta.

Metodologi dan materi pembelajaran yang merangsang tumbuhnya kepenasaranan intelektual haruslah lebih ditonjolkan untuk membangun pola pikir, tradisi dan budaya keilmuan, menumbuhkan kreativitas dan sekaligus daya inovasi. Di sini peran guru lebih dominan dibanding kecukupan sarana dan prasarana. Budaya keilmuan merupakan modal penting dan menjadi semakin rasional dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dan tantangan. Dengan kreativitas dan daya inovasi, semakin cerdas dalam mengelola sumber daya yang kita miliki, semakin tinggi nilai tambah yang bisa diberikan. Pada akhirnya bisa meningkatkan kesejahteraan lebih signifikan. Inilah pendidikan karakter yang terkait dengan keilmuan.

Kelompok karakter ketiga yang harus dibangun adalah menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Kecintaan karena sadar bahwa bangsa dan negara dengan empat pilarnya yaitu: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah milik kita, hasil dari perjuangan yang luar biasa. Penumbuhan kebanggaan itu dilakukan melalui kegemaran kita untuk berprestasi. Prestasi positif kita kontribusikan dan dedikasikan demi kemajuan bangsa dan negara. Inilah yang bisa menumbuhkan kebanggaan sejati. Tanpa prestasi dikhawatirkan kita bisa terjebak dalam kebanggaan semu, kebanggaan tanpa makna.

Itulah alasan mengapa tema Hardiknas 2011 ini adalah Pendidikan Karakter sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa dengan subtema Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti. Membangun ketiga kelompok karakter tersebut tidak cukup hanya pembelajaran di kelas, tapi juga harus secara simultan melalui membangun kultur sekolah (school culture), keluarga, dan masyarakat. Ini harus diajarkan mulai dari pendidikan anak usia dini, perguruan tinggi, sampai belajar sepanjang hayat (life long learning).

Pendidikan PAUD

Banyak agenda yang harus disiapkan dalam menyiapkan generasi 2045, antara lain pendidikan anak usia dini (PAUD). Pada usia inilah masa emas dari generasi kita. Mereka inilah 30-an tahun ke depan yang akan menjadi pemegang kunci kemajuan bangsa. Karena itu, tidak ada pilihan lain kalau kita ingin menyiapkan generasi 2045, harus kita mulai dari sekarang yaitu dengan memberikan perhatian khusus pada PAUD, dengan tetap memberikan perhatian pada jenjang pendidikan yang lain. Kementerian Pendidikan Nasional,mulai 2011 menjadikan PAUD sebagai gerakan nasional.

Alhamdulillah, kesadaran dan antusiasme masyarakat terhadap PAUD sangat tinggi. Kita yakin, angka partisipasi kasar PAUD, yaitu 57% pada 2010 dapat ditingkatkan secara signifikan menjadi 70%. Pada PAUD inilah paling tidak kita mulai tanamkan tiga kelompok pendidikan karakter tersebut, yaitu karakter sebagai hamba Tuhan, karakter keilmuan, dan karakter cinta terhadap bangsa dan negara. Harus diakui, pada dasarnya pendidikan merupakan sebuah proses panjang, berkelanjutan, dan memerlukan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan.

Karena itu, konsistensi kebijakan dan kebersamaan diperlukan. Inilah ‘hadiah’’ yang kita siapkan dan persembahkan dalam menyambut generasi 2045, generasi 100 tahun Indonesia merdeka. Insya Allah.

MOHAMMAD NUH
Menteri Pendidikan Nasional